Pengertian Dzari’ah

Pengertian Dzari’ah, Dzari’ah ditinjau dari segi bahasa adalah “jalan menuju sesuatu”. Sebagian ulama mengkhususkan pengertian dzari’ah dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemadharatan. Akan tetapi, pendapat tersebut ditentang oleh para ulama ushul lainnya, diantaranya Ibnu Qayyim Aj-Zauziyah yang menyatakan bahwa dzari’ah itu tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan. Dzari’ah terbagi menjadi dua, yaitu sadd adz-dzari’ah dan fath adz-dzati’ah.

a.    Saad adz-dzari’ah
Saad adz-dzariyah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung kemaslahatan, tetapi berakhir dengan suatu kerusakan.
Menurut Imam Asy-Syatibi saad adz-dzari’ah adalah:
التّوصّل بما هو مصلحة إلى مفسدة
“Melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan menuju pada sesuatu kerusakan (kemafsadatan)”.

Contohnya, seseorang yang telah dikenai kewajiban zakat, namun sebelum haul (genap setahun) ia mengibahkan hartanya kepada anaknya sehingga dia terhindar dari kewajiban zakat. Hibbah (memberikan sesuatu kepada orang lain, tanpa ikatan apa-apa) dalam syariat islam merupakan perbuatan yang baik yang mengandung kemaslahatan. Akan tetapi, bila tujuannya tidak baik, misalnya untuk menghindarkan dari kewajiban zakat maka hukumnya dilarang. Hal itu didasarkan pada pertimbangan, bahwa hukum zakat adalah wajib, sedangkan hibbah adalah sunnah.

Imam asy-Syatibi menyebutkan kriteria-kriteria yang menjadikan suatu perbuatan itu dilarang, yaitu:

  1. Perbuatan yang tadinya boleh dilakukan itu mengandung kerusakan.
  2. Kemafsadatan lebih kuat daripada kemaslahatan.
  3. Perbuatan yang dibolehkan syara’ mengandung lebih banyak unsur kemafsadatannya.
  4.  Fath adz-Dzari’ah
Fath adz-Dzari’ah adalah kebalikan dari sadd adz-Dzari’ah yaitu perbuatan yang pada mulanya mengandung kemafsadatan menuju kepada kemaslahatan. Seperti contoh, melihat aurat wanita adalah perbuatan yang pada mulanya mengandung kemafsadatan (dilarang) karena akan menimbulkan zina, tetapi karena untuk mengobati, maka perbuatan tersebut mengandung kemaslahatan.

Ibnu Qayyim Aj-Jauziyyah dan Imam Al-Qarafi, mengatakan bahwa dzari’ah itu adakalanya dilarang (sadd adz-Dzari’at) dan adakalanya dianjurkan bahkan diwajibkan (fath adz-Dzari’at). Misalnya meninggalkan segala aktivitas untuk melaksanakan shalat jum’at yang hukumnya wajib. Namun, pendapat tersebut dibantah oleh Wahbah Al-Juhaili yang menyatakan bahwa perbuatan seperti diatas tidak termasuk kepada dzari’ah, tetapi dikategorikan sebagai muqaddimah (pendahuluan) dari suatu pekerjaan. Apabila hendak melakukan sesuatu perbuatan yang hukumnya wajib, maka berbagai upaya dalam rangka melaksanakan kewajiban tersebut hukumnya wajib. Sesuai dengan kaidah:

مالا يتمّ الواجب إلاّ به فهو واجب
“apabila suatu perbuatan bergantung pada sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu pun wajib” Begitu pula segala jalan yang menuju kepada sesuatu yang haram, maka sesuatu yang lain itu pun haram, sesuai dengan kaidah:

مادلّ على حرام فهو حرام
“ segala jalan yang menuju terciptanya suatu pekerjaan yang haram, maka jalan itu pun haram”. Misalnya, seorang laki-laki haram berkhalwat dengan wanita yang bukan muhrim atau melihat auratnya, karena hal itu akan membawa perbuatan haram yaitu zina. Menurut jumhur, melihat aurat dan berkhalwat dengan wanita yang bukan muhrim itu disebut pendahuluan kepada yang haram (muqaddimah al-hurmah).

Para ulama telah sepakat tentang adanya hukum pendahuluan tersebut, tetapi mereka tidak sepakat dalam menerimanya sebagai dzari’ah. Ulama Malikiyah menyebutnya sebagai muqaddimah, tidak termasuk sebagai kaidah dzari’ah. Namun, mereka sepakat bahwa hal itu bisa dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum. (Aj-Juhaili :874).

2.    Macam-macam Dzari’ah
Para ulama membagi dzari’ah berdasarkan dua segi: yaitu segi kualitas kemafsadatan, dan segi jenis kemafsadatan.
1.    Dzari’ah dari Segi Kemafsadatan
Menurut Imam Asy-Syatibi:
  1. Perbuatan yang dilakukan tersebut membawa kemafsadatan yang pasti. Misalnya menggali sumur didepan rumah orang lain pada waktu malam, yang menyebabkan pemilik rumah jatuh kedalam sumur tersebut. Maka ia dikenai hukuman karena melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja.
  2.  Perbuatan yang boleh dilakukan karena jarang mengandung kemafsadatan, misalnya menjual makanan yang biasanya tidak mengandung kemafsadatan.
  3. Perbuatan yang dilakukan kemungkinan besar akan membawa kemafsadatan. Seperti menjual senjatsa pada musuh, yang dimungkinkan akan digunakan untuk membunuh.
  4. Perbuatan yang pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatam, tetapi memungkinkan terjadinya kemafsadatan. Seperti jual beli dengan harga yang lebih tinggi dari harga asal karena tidak kontan).
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama, apakah baiy al-ajal dilarang  atau dibolehkan. Menurut Imam Syafi’I dan Abu Hanifah, jual beli tersebut dibolehkan karena syarat dan rukun dalam jual beli sudah terpenuhi. Selain  itu, dugaan (zhann al-mujarrad) tidak bisa dijadikan dasar keharaman jual beli tersebu. Oleh karena itu, bentuk dzari’ah tersebut dibolehkan. Imam Malik dan Ahmad Ibnu Hambal lebih memperhatikan akibat yang ditimbulkan oleh praktek jual beli tersebut, yakni menimbulkan riba. Degan deikian dzari’ah seperti itu tidak dibolehkan. 

2.    Dzari’ah dari Segi kemafsadatan yang Ditimbulkan
Menurut Ibnu Qayyim Aj-Jauziah:
  1. Perbuatan yang membawa kepada suatu kemafsadatan, seperti meminum minuman keras yang mengakibatkan mabuk, sedangkan mabuk adalah perbuatan yang mafsadat.
  2. Suatu perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan atau dianjurkan tetapi dijadikan sebagai jalan untuk melakukan suatu perbuatan yang haram, baik disengaja maupun tidak. Seperti seorang laki-laki menikahi perempuan yang ditalak tiga dengan tujuan agar wanita itu bisa kembali kepada suaminya yang pertama (nikah at-tahlil).

Kedua bagian diatas dibagi lagi kedalam dua:
  1. Kemaslahatan suatu perbuatan lebih kuat dari kemafsadatannya.
  2. Kemafsadatan suatu perbuatan lebih kuat daripada kemanfaatannya.
Dua bagian ini dibagi lagi menjadi empat bentuk:
  1. Sengaja melakukan perbuatan yang mafsadat, seperti minum arak, perbuatan ini dilarang oleh syara’
  2. Perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan atau dianjurkan tetapi dijadikan sebagai jalan untuk melakukan suatu perbuatan yang haram, baik disengaja maupun tidak. Seperti nikah at-tahlil.
  3. Perbuatan yang hukumnya boleh dan pelakunya tidak bertujuan untuk melakukan suatu kemafsadatan, seperti mencaci maki persembahan orang musyrik yang mengakibatkan mereka akan mencaci maki Allah.
  4. Suatu pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan, tetapi adakalanya menimbulkan kemafsadatan, seperti melihat wanita yang dipinang. Menurut ibnu Qayyim, kemaslahatan lebih besar, maka hukumnya dibolehkan sesuai kebutuhan.

3.    Kehujahan Sadd adz-Dzari’ah
Terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama ushul dalam menetapkan kehujjahan sad adz-dzari’ah sebagai dalil syara’, diantaranya:

a.    Q. S al-An’am : 108:
ولا تسبّوا الّذين يدعون من دون الله فيسبّوا الله عدوا بغير علم ...
“dan jangan kamu memiliki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena nanti mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan”.
b.    Hadis Rasulullah SAW. Antara lain H.R Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud.
Artinya: “sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknat kedua orang tuanya. Lalu Rasulullah SAW. ditanya,”wahai Rasulullah, bagaimana mungin seseorang akan melaknat Ibu dan Bapaknya?”. Rasulullah akan dicaci maki oleh orang lain, dan seseorang mencaci maki Ibu orang lain, maka orang lain pun akan mencaci maki ibunya”.
Ulama hanafiah, Syafi’iyah dan Syi’ah dapat menerima sadd adz-dzari’ah dalam masalah-masalah tertentu saja dan menolaknya dalam masalah lain. Sedangkan Imam Syafi’i menerimanya apabila dalam keadaan uzur. Ulama ushul mengemukakan dua alasan dalam memandang dzari’ah:
-    Motivasi seseorang dalam melakukan sesuatu
-    Dari segi dampaknya (akibat)
Menurut Ulama Syafi’iyah dan Hanafiah, dalam suatu transaksi yang dilihat adalah akad yang disepakati oleh orang yang bertransaksi. Apabila sudah  memenuhi syarat dan rukun, maka akad tersebut dianggap sah. Adapun masalah niat diserahkan pada Allah. Menurut mereka apaabila tidak ada indikasi yang menunjukkan niat dan prilaku maka berlaku kaidah:
المعتبر في أوامر الله المعنى والمعتبر في أمور العباد الاسم واللّفظ.
“patokan dasar dalam hal-hal yang berkaita dengan hak Allah adalah niat, sedangkan yang berkaitan dengan hak-hak hamba adalah lafalnya”
Akan tetapi, jika tujuan orang yang berakad dapat ditangkap dari beberapa indikator yang ada, maka  berlaku kaidah:
العبرة فى العقود بالمقاصد والمعانى لابالألفاظ والمبانى.
“yang menjadi patokan dasar dalam perikatan-perikatan adalah niat dan makna, bukan lafadz dan bentuk formal (ucapan)”.

Sedangkan menurut Ulama Malikiyah dan Hanabilah yang menjadi ukuran adalah niat dan tujuan. Apabila suatu perbuatan sesuai dengan niatnya maka sah. Namun, apabila tidak sesuai dengan tujuan semestinya, tetapi tidak ada indikasi yang menunjukan bahwa niatnya sesuai dengan tujuan tersebut, maka akadnya tetap dianggap sah, tetapi ada perhitungan antara Allah dan pelaku, karena yang paling mengetahui niat seseorang hanyalah Allah saja. Apabila ada indikator yang menunjukan niatnya, dan niat itu tidak bertentangan dengan tujuan syara’, maka akadnya sah. Namun apabila niatnya bertentangan dengan syara’, maka perbuatannya dianggap fasid (rusak), namun tidak ada efek hukumnya. (Aj-Jauziyyah, III:114, 119 dan IV: 400).

Golongan Zhahiriyyah tidak mengakui kehujjahan sadd adz-dzari’ah sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’. Hal itu sesuai dengan prinsip mereka yang hanya menggunakan nash secara harfiah saja dan tidak menerima campur tangan logika dalam masalah hukum. (Ibu Hazm, IV: 745-757).

Label dari

Pengertian ‘Urf

Pengertian ‘Urf, ‘Urf secara harfiah adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan atau ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakan atau meninggalkannya. Menurut Abu Zahra pengertian ‘Urf yaitu:
ماعتداه الناس من معاملات واستقامت عليه أمورهم
“apa-apa yang dibiasakan oleh manusia dalam pergaulannya dan telah mantap dalam urusannya”. Secara lebih lengkap Badran memberikan definisi sebagai berikut:
ماعتداه جمهور النّاس وألقوه من قول أو فعل تكرّر مرّة بعد مرّة أهرى حتى تمكّن أثره في نفوسهم وصارتتلقاه عقولهم بالقبول.
“ apa-apa yang dibiasakan dan diikuti oleh orang banyak, baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan, berulang-ulang dilakukan sehingga berbekas dalam jiwa mereka dan diterima baik oleh akal mereka”.
Menurut istilah ahli syara’ tidak ada perbedaan antara al-‘urf dan adat. Adat perbuatan seperti kebiasaan umat manusia berjual-beli dengan tukar menukar secara langsung, tanpa bentuk ucapan akad. Adat ucapan seperti kebiasaan manusia menyebut al-walad secara muthlak berarti anak laki-laki, bukan anak perempuan, dan juga kebiasaan mereka meng-itlak-kan  lafadz al-lahm yang bermakna daging atas as-samak yang bermakna ikan tawar.

‘Urf mencakup saling pengertian diantara manusia atas perbedaan tingkatan diantara mereka, baik keumumannya maupun kekhususannya. ‘Urf berbeda dengan ijma’, karena ijma’ merupakan tradisi dari kesepakatan para mujtahidin secara khusus.

Macam-macam ‘Urf

‘Urf terdiri dari dua macam, yaitu:
a.    ‘Urf Shahih (benar), yaitu sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia dan tidak bertentangan dengan dalil syara’, tidak menghalalkan yang haram dan juga tidak membatalkan yang wajib. Seperti adanya pengertian diantara manusia tentang kontrak borongan, pembagian mas kawin (mahar) yang didahulukan dan diakhirkan. Begitu juga bahwa istri tidak boleh menyerahkan dirinya kepada suaminya sebelum ia menerima sebagian dari maharnya. Juga tentang sesuatu yang telah diberikan oleh pelamar (calon suami) kepada calon istri, berupa perhiasan, pakaian atau apa saja, dianggap sebagai hadiah dan bukan merupakan sebagian dari mahar.

b.    ‘Urf Fasid (rusak), yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh manusia tetapi bertentangan dengan hukum syara’, atau menghalalkan yang haram dan membatalkan yang wajib. Seperti adanya saling pengertian diantara manusia tentang beberapa perbuatan munkar dalam ucapan saat menghadapi kelahiran anak, ditempat kematian, serta kebiasaan memakan barang riba dan kontrak judi.

3.    Hukum ‘Urf

a.    ‘Urf Shahih dan Pandangan Para Ulama
‘Urf shahih harus dipelihara dalam pembentukan hukum dan pengadilan. Seorang mujtahid harus memperhatikan hal ini dalam penentuan hukumnya. Begitu juga dengan seorang Qadhi (hakim) harus memeliharanya ketika sedang mengadili.   Syar’i telah memelihara ‘urf bangsa Arab yang shahih dalam membentuk hukum, seperti dalam difardukannya diat (denda) atas perempuan yang  berakal, mensyaratkan adanya kafa’ah (kesesuaian) dalam perkawinan,dan memperhatikan pula adanya nashabah (ahli waris yang bukan penerima pembagian pasti dalam hal kematian dan pembagian harta pusaka).

Diantara para ulama ada yang berkata, “Adat adalah syariat yang dikukuhkan sebagai hukum” ‘urf juga menurut syara’ mendapat pengakuan hukum. Dalam Fikih Hanafi banyak hukum yang ditetapkan berdasarkan ‘urf, antara lain: apabila berselisih antara dua orang terdakwa dan tidak terdapat saksi bagi salah satunya, maka pendapat yang dibenarkan (dimenangkan) adalah pendapat orang yang saksinya ‘urf. Apabila suami istri tidak sepakat atas mahar yang muqaddam (terdahulu) atau yang mu’akhar (terakhir) maka hukumnya adalah ‘urf. Barangsiapa bersumpah tidak akan makan daging, kemudian ia makan ikan tawar, maka tidak berarti bahwa ia telah melanggar sumpahnya menurut dasar ‘urf.

Syarat sah akad itu apabila ketentuan tentang hal itu terdapat dalam syara’, atau apabila dituntut oleh akad atau apabila berjalan padanya ‘urf. Al’allamah al-Marhum telah menyusun risalah yang dinamakan “menyebarkan ‘urf diantara hukum-hukum yang dibentuk berdasarkan ‘urf”. Didalam sebuah kata bijak dikenal istilah:

المعروفُ عُرفا كالمشروط شَرطا والثابتُ بالعُرف كالثّابت بالناص.
“yang dikenal menurut kebiasaan seperti halnya ditetapkan dalam syarat dan yang ditetapkan menurut syarat seperti ditetapkan menurut nash”.

b.    Hukum ‘Urf Fasid (rusak)
‘Urf Fasid (rusak) tidak diharuskan untuk memeliharanya, karena dengan memeliharanya berarti menentang dalil syara’ atau membatalkan dalil syara’. Apabila manusia sudah biasa melakukan akad yang rusak seperti akad pada barang riba, atau akad yang mengandung unsur penipuan dan bahaya, maka kebiasaan ini tidak berarti punya pengaruh bahwa akad seperti itu diperbolehkan.
Hukum-hukum yang didasarkan ‘urf itu dapat berubah menurut perubahan zaman dan peruahan asalnya. Karena itu para fuqaha berkata: “perselisihan itu adalah perselisihan masa dan zaman, ukan perselisihan hujjah dan bukti”.

4.    Kehujjahan ‘Urf
‘Urf menurut penyelidikan bukan merupakan dalil syara’ tersendiri. Pada umumnya, ‘urf ditujukan untuk memelihara kemashlahatan umat serta menunjang pembentukan hukum dan penafsiran beberapa nash. Dengan ‘urf dikhususkan hukum yang ‘amm (umum) dan dibatasi yang muthlak. Karena ‘urf pula terkadang qiyas itu ditinggalkan. Karena itu, sah mengadakan kontrak borongan apaila ‘urf sudah terbiasa dalam hal ini, sekalipun tidak sah menurut qiyas, karena kontrak tersebut adalah kontrak atas perkara yang ma’dum (tiada).

Label dari

MADZHAB SHAHABI

1.    Keadaan Para Sahabat Setelah Rasulullah Wafat
Setelah Rasulullah SAW wafat, tampillah para sahabat yang telah memiliki ilmu yang dalamdan mengenal fiqih untuk memberikan fatwa kepada umat Islam dan membentuk hukum. Hal itu karena merekalah yang paling lama bergaul dengan Rasulullah SAW dan telah memahami Al-Qur’an serta hukum-hukumnya. Dari mereka pulalah keluar fatwa mengenai peristiwa yang bermacam-macam. Para mufti dari kalangan tabi’it-tabi’in telah memperhatikan periwayatan dan pentakwilan fatwa-fatwa mereka. Diantara mereka ada yang mengodifikasikannya bersama sunah-sunahRasul, sehingga fatwa-fatwa mereka dianggap sumber-sumber pembentukan hukum yang disamakan dengan nash. Bahkan, seorang mujtahid harus mengembalikan suatu permasalahan kepada fatwa mereka sebelum kembali kepada qiyas, kecuali kalau hanya pendapat perseorangan yang bersifat ijtihad bukan atas nama umat Islam.

2.    Kehujahan Madzhab Shahaby dan Pandangan Para Ulama
Tidak dapat diragukan lagi bahwa pendapat para sahabat dianggap sebagai hujjah bagi umat Islam, terutama dalam hal-hal yang tidak bisa dijangkau akal. Karena pendapat mereka bersumber langsung dari Rasulullah SAW, seperti ucapan Aisyah; “tidaklah berdiam kandungan itu dalam perut ibunya lebih dari dua tahun, menurut kadar ukuran yang dapat mengubah bayangan alat tenun”.

Keterangan diatas tidalah sah untuk untuk dijadikan lapangan ijtihad dan pendapat, namun karena sumbernya benar-benar dari Rasulullah SAW maka dianggap sebagai sunah mekipun pada zahirnya merupakan ucapan sahabat. Pendapat sahabat yang tidak bertentangan dengan sahabat lain bisa dijadikan hujjah oleh umat Islam. Hal ini karena kesepakatan mereka terhadap hukum sangat berdekatan dengan zaman Rasulullah SAW. mreka juga mengetahui tentang rahasia-rahasia syari’at dan kejadian-kejadian lain yang bersumber dari dalil-dalil yang qath’i. seperti kesepakatan mereka atas pembagian waris untuk nenek yang mendapat bagian seperenam. Ketentuan tersebut wajib diikuti Karena tidak diketahui adanya perselisihan dari umat Islam.

Adanya perselisihan biasanya terjadi pada ucapan sahabat yang keluar dari pendapatnya sendiri sebelum ada kesepakatan dari sahabat yang lain. Abu Hanifah menyetujui pernyataan tersebut dan berkata: “apabila saya tidak mendapatkan hukum dalam Al-Qur’an dan sunah, saya mengambil pendapat para sahabat yang saya kehendaki dan saya meninggalkan pendapat orang yang tidak saya kehendaki. Namun, saya tidak keluar dari pendapat mereka yang sesuai dengan yang lainnya.

Dengan demikian, Abu Hanifah tidak memandang bahwa pendapat seorang sahabat itu sebagai hujjah karena dia bisa mengambil pendapat mereka yang dia kehendaki, namun dia tidak memperkenankan untuk menentang pendapat-pendapat mereka secara keseluruhan. Dia tidak memperkenankan adanya qiyas terhadap suatu peristiwa, bahkan dia mengambil cara nasakh terhadap berbagai pendapat yang terjadi diantara mereka.

Menurut Abu Hanifah, perselisihan antara dua orang sahabat mengenai hukum suatu kejadian sehingga terdapat dua pendapat, bisa dikatakan ijma’ diantara keduanya. Maka kalau keluar dari pendapat mereka secara keseluruhan berarti telah keluar dari ijma’ mereka.

Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa pendapat orang tertentu dikalangan sahabat tidak dipandang sebagai hujjah, bahkan beliau memperkenankan untuk menentang pendapat mereka secara keseluruhan dan melakukan ijtihad untuk mengistinbat pendapat lain. Dengan alasan bahwa pendapat mereka adalah pendapat ijtihadi secara perseorangan dari orang yang tidak ma’sum (tidak terjaga dari dosa).

Selain itu, para sahabat juga dibolehkan menentang sahabat lainnya. Dengan demikian, para mujtahid juga dibolehkan menentang pendapat mereka. Maka tidaklah aneh jika Imam Syafi’i melarang untuk menetapkan hukum atau member fatwa, kecuali dari kitab dan sunnah atau dari pendapat yang diseakati oleh para ulama dan tidak terdapat perselisihan diantara mereka, atau menggunakan qias pada sebagiannya.

Label dari