MADZHAB SHAHABI
1. Keadaan Para Sahabat Setelah Rasulullah Wafat
Setelah
Rasulullah SAW wafat, tampillah para sahabat yang telah memiliki ilmu
yang dalamdan mengenal fiqih untuk memberikan fatwa kepada umat Islam
dan membentuk hukum. Hal itu karena merekalah yang paling lama bergaul
dengan Rasulullah SAW dan telah memahami Al-Qur’an serta hukum-hukumnya.
Dari mereka pulalah keluar fatwa mengenai peristiwa yang
bermacam-macam. Para mufti dari kalangan tabi’it-tabi’in telah
memperhatikan periwayatan dan pentakwilan fatwa-fatwa mereka. Diantara
mereka ada yang mengodifikasikannya bersama sunah-sunahRasul, sehingga
fatwa-fatwa mereka dianggap sumber-sumber pembentukan hukum yang
disamakan dengan nash. Bahkan, seorang mujtahid harus mengembalikan
suatu permasalahan kepada fatwa mereka sebelum kembali kepada qiyas,
kecuali kalau hanya pendapat perseorangan yang bersifat ijtihad bukan
atas nama umat Islam.
2. Kehujahan Madzhab Shahaby dan Pandangan Para Ulama
Tidak
dapat diragukan lagi bahwa pendapat para sahabat dianggap sebagai
hujjah bagi umat Islam, terutama dalam hal-hal yang tidak bisa dijangkau
akal. Karena pendapat mereka bersumber langsung dari Rasulullah SAW,
seperti ucapan Aisyah; “tidaklah berdiam kandungan itu dalam perut
ibunya lebih dari dua tahun, menurut kadar ukuran yang dapat mengubah
bayangan alat tenun”.
Keterangan
diatas tidalah sah untuk untuk dijadikan lapangan ijtihad dan pendapat,
namun karena sumbernya benar-benar dari Rasulullah SAW maka dianggap
sebagai sunah mekipun pada zahirnya merupakan ucapan sahabat. Pendapat
sahabat yang tidak bertentangan dengan sahabat lain bisa dijadikan
hujjah oleh umat Islam. Hal ini karena kesepakatan mereka terhadap hukum
sangat berdekatan dengan zaman Rasulullah SAW. mreka juga mengetahui
tentang rahasia-rahasia syari’at dan kejadian-kejadian lain yang
bersumber dari dalil-dalil yang qath’i. seperti kesepakatan mereka atas
pembagian waris untuk nenek yang mendapat bagian seperenam. Ketentuan
tersebut wajib diikuti Karena tidak diketahui adanya perselisihan dari
umat Islam.
Adanya perselisihan
biasanya terjadi pada ucapan sahabat yang keluar dari pendapatnya
sendiri sebelum ada kesepakatan dari sahabat yang lain. Abu Hanifah
menyetujui pernyataan tersebut dan berkata: “apabila saya tidak
mendapatkan hukum dalam Al-Qur’an dan sunah, saya mengambil pendapat
para sahabat yang saya kehendaki dan saya meninggalkan pendapat orang
yang tidak saya kehendaki. Namun, saya tidak keluar dari pendapat mereka
yang sesuai dengan yang lainnya.
Dengan
demikian, Abu Hanifah tidak memandang bahwa pendapat seorang sahabat
itu sebagai hujjah karena dia bisa mengambil pendapat mereka yang dia
kehendaki, namun dia tidak memperkenankan untuk menentang
pendapat-pendapat mereka secara keseluruhan. Dia tidak memperkenankan
adanya qiyas terhadap suatu peristiwa, bahkan dia mengambil cara nasakh
terhadap berbagai pendapat yang terjadi diantara mereka.
Menurut
Abu Hanifah, perselisihan antara dua orang sahabat mengenai hukum suatu
kejadian sehingga terdapat dua pendapat, bisa dikatakan ijma’ diantara
keduanya. Maka kalau keluar dari pendapat mereka secara keseluruhan
berarti telah keluar dari ijma’ mereka.
Sedangkan
Imam Syafi’i berpendapat bahwa pendapat orang tertentu dikalangan
sahabat tidak dipandang sebagai hujjah, bahkan beliau memperkenankan
untuk menentang pendapat mereka secara keseluruhan dan melakukan ijtihad
untuk mengistinbat pendapat lain. Dengan alasan bahwa pendapat mereka
adalah pendapat ijtihadi secara perseorangan dari orang yang tidak
ma’sum (tidak terjaga dari dosa).
Selain
itu, para sahabat juga dibolehkan menentang sahabat lainnya. Dengan
demikian, para mujtahid juga dibolehkan menentang pendapat mereka. Maka
tidaklah aneh jika Imam Syafi’i melarang untuk menetapkan hukum atau
member fatwa, kecuali dari kitab dan sunnah atau dari pendapat yang
diseakati oleh para ulama dan tidak terdapat perselisihan diantara
mereka, atau menggunakan qias pada sebagiannya.
Label dari
Ushul Fiqh