Rumah Gadang Aman dari Gempa

Artefak kebudayaan Minangkabau, termasuk hunian yang aman dan nyaman merupakan hasil budaya yang lahir dari dialektika orang Minangkabau dalam filosofi “Alam Takambang Jadi Guru”. Ya, dialektika  bakarano bakajadian (bersebab dan berakibat). Pengejawantahan yang harmonis dan dinamis sebagaimana dinamika alam.

Bagaimana dialektika ini diwujudkan dalam sejarah arsitektur rumah gadang sehingga sangat memungkinkan untuk dikaji sebagai arsitektur aman gempa? Di sini, ada perhitungan dengan alam atau kondisi geografisnya. Merunut tambo Minangkabau, nenek moyang orang Minangkabau itu turun pertama kali dari lereng sebelah selatan Gunung Marapi, dan kemudian menyebar ke sekitar gunung.

Semakin jauh mereka menyebar dalam wilayah yang disebut darek itu, mereka masih menemukan gunung-gunung berapi aktif ketika itu. Seperti, Gunung Singgalang, Gunung Sago, dan Gunung Talang. Kondisi alam dengan pegunungan berapi aktif dan jalur patahan semangko di sepanjang bukit barisan, membuat wilayah Minangkabau kerap didera gempa vulkanik. Bergerak ke arah pesisir, patahan yang melintang di Samudera Hindia, juga membawa dampak gempa tektonik yang kerap dikecap orang Minang.

Ini salah satu sebab yang membuat orang Minangkabau memutar otak bagaimana membuat design bangunan yang tepat dengan kondisi seperti itu. Merunut cerita yang dipertahankan, nenek moyang orang Minangkabau datang ke daratan sebagai pelaut yang handal. Termasuk dalam teknik pembuatan kapal. Sehingga rancangan rumah gadang ini dibuat berbentuk kapal.

Di sini ada sinergitas antara kondisi alam daratan dan lautan dengan bentuk hunian seperti kapal. Rumah gadang dibangun dengan bentuk lancip ke bawah, seperti kapal.  Setiap tiangnya tidaklah tegak lurus atau horizontal tapi mempunyai kemiringan. Bentuk lancip ke bawah ini membuat kapal tahan dari hempasan dan terjangan gelombang, sulit untuk terbalik. Berbeda, jika penampangnya dibuat lurus seperti kotak, akan mudah terbalik dihantam gelombang.

Kekuatan bidang miring yang kembang ke atas inilah, mungkin, yang menjadi inspirasi tukang tuo, yang sebelumnya mahir membuat kapal itu, untuk membuat rumah gadang. Di sinilah konsepsi harmonis dan dinamis dalam konteks bakarano bakajadian itu bermain.

Tampak depan, bentuk badannya yang segi empat dan membesar ke atas dengan atap yang melengkung seperti tanduk kerbau, sisinya melengkung ke dalam, bagian tengahnya rendah seperti perahu, secara estetika merupakan komposisi yang dinamis. Begitu pula, jika dilihat dari samping (penampang), segi empat yang membesar ke atas ditutup dengan segitiga yang melengkung ke dalam, yang membentuk keseimbangan estetis nan harmonis.

Jika dilihat dan segi fungsinya, garis-garis rumah gadang juga menunjukkan penyesuaian dengan alam tropis. Atapnya yang lancip untuk membebaskan endapan air pada ijuk yang berlapis-lapis, sehingga air hujan akan meluncur cepat pada atapnya. Bangun rumah yang membesar ke atas, yang mereka sebut silek, membebaskannya dari terpaan tampias. Kolongnya yang tinggi memberikan hawa yang segar. Di samping posisinya yang berjejer mengikuti arah mata angin dari utara ke selatan, membebaskannya dari panas matahari serta terpaan angin. Jika dilihat secara keseluruhan, arsitektur rumah gadang itu dibangun menurut syarat-syarat estetika dan fungsi yang sesuai dengan kodrat atau yang mengandung nilai-nilai kesatuan, kelarasan, keseimbangan, dan kesetangkupan dalam keutuhannya yang padu.

Ini mengingatkan kita pada kajian arsitektur vernakular yang didefenisikan Romo Manguwijaya dalam buku Wastu Citra, bahwa, arsitektur vernakular itu adalah pengejawentahan yang jujur dari tata cara kehidupan masyarakat dan merupakan cerminan sejarah dari suatu tempat. Atau dengan kata lain arsitektur vernakular bukanlah semata-mata produk hasil dari ciptaan manusia saja, tetapi yang lebih penting adalah hubungan antara manusia dengan lingkungannya.

Bersamaan dengan apa yang dikatakan Turan dalam buku Vernacular Architecture, arsitektur vernakular  adalah arsitektur yang tumbuh dan berkembang dari arsitektur rakyat yang lahir dari masyarakat etnik dan berjangkar pada tradisi etnik, serta dibangun oleh tukang berdasarkan pengalaman (trial and error),  menggunakan teknik dan material lokal serta merupakan jawaban atas setting lingkungan tempat bangunan tersebut berada dan selalu membuka untuk terjadinya transformasi.

Tidak ada nama desainer rumah gadang. Orang Minang mengenal perancang rumah gadang hanya dengan sebutan tukang tuo, yang bekerja sesuai dengan alua jo patuik (alur dengan patut). Bahwa, segala sesuatu yang terdapat di alam ini mempunyai fungsi sendiri-sendiri, sesuai dengan ungkapan yang terdapat dalam masyarakat Minangkabau yaitu indak tukang mambuang kayu (tukang tidak membuang kayu). Bak bunyi petuah;

Nan kuaik ka jadi tonggak,

Nan luruih jadikan  balabeh,

Nan bungkuak ambiak ka bajak,

Nan lantiak jadi bubuangan,

Nan satampok ka papan tuai,

Panarahan ka jadi kayu api,

Abunyo ambiak ka pupuak.

Hal lain yang perlu dipelajari dari rumah gadang terkait dengan konsep aman gempa, melihat penampangnya yang segi empat yang lebar ke atas atau trapesium terbalik itu, jika saja ditarik garis dari sisi-sisi trapezium terbalik itu ke bawah, ia akan bertemu pada satu titik di pusat bumi. Bila digambarkan lagi akan menyerupai segi tiga sama kaki yang terbalik. Pada akhirnya penampang rumah gadang ini, antara penampang badan dan atap, akan menyerupai dua segitiga yang dipertemukan salah satu sisinya. Saya belum menemukan literature yang mengkaji ratio hubungan pertemuan titik tadi dengan pusat bumi. Barangkali, ada hubungannya dengan ketahanan terhadap getaran akibat pergeseran kulit bumi. Untuk itu diperlukan penelitian lebih lanjut tentang ini. Semoga! (***) 


*) Artikel ini merupakan bagian dari kampanye pendidikan publik “Rumah Aman Gempa” yang didukung oleh Kemitraan Australia Indonesia. Australia berkomitmen memberikan lebih dari A$15 juta untuk membantu masyarakat Sumatera Barat pasca bencana gempa bumi September 2009 lalu.

Gusriyono

Wartawan Padang Ekspres :


Sumber

Label dari