Syar’u man Qablana

Syar’u man qablana adalah syari’at orang-orang terdahulu sebelum kita, Al-Qur’an dan sunnah sahih menerangkan suatu hukum yang disyariatkan oleh Allah untuk umat Islam kemudian bahwa hukum tersebut diwajibkan pula kepada umat sebelumnya.

1.    Hukum Syar’u Man Qablana
Al-Qur’an atau Sunah yang shahih mengisahkan suatu hukum yang telah disyariatkan pada umat yang dahulu melalui para Rasul, kemudian nash nash tersebut diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada mereka, maka tidak diragukan lagi bahwa syariat tersebut ditujukan juga kepada kita. Dengan kata lain wajib untuk diikuti, seperti firman Allah SWT dalam Q.S al-baqarah: 183.

ياايهاالّذين أمنوا كتب عليكم الصّيام كما كتب على الّذين من قبلكم . . . 

 “ hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan pada kamu semua berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu...”(Q.S Al-Baqarah: 183)
Sebaliknya, bila dikisahkan suatu syariat yang telah ditetapkan kepada orang-orang terdahulu, namun hukum itu telah dihapus untuk kita, para ulama sepakat bahwa hukum tersebut tidak disyariatkan kepada kita, seperti syariat nabi Musa bahwa seorang yang telah berbuat dosa tidak akan diampuni dosanya, kecuali dengan membunuh dirinya. Dan jika ada najis yang menempel pada tubuh tidak akan suci keuali dengan memotong anggota badan tersebut, dan lain sebagainya.

Syar’u man qablana dapat dibagi menjadi tiga kelompok:
a.    Syari’at terdahulu yang terdapat dalam Al-Qur’an atau sebelum Nabi Muhammad dan dijelaskan pula dalam Al-Qur’an atau hadis Nabi bahwa yang demikian telah dinasakh dan tidak berlaku lagi umat Nabi Muhammad. Umpamanya firman Allah SWT. Dalam surat Al-An’am:146.

وعلى الّذين هادوا حرّمنا كل ذى ظفر ومن البقر والغنم حرّمنا عليهم سخومهما.

“kami haramkan atas orang-orang Yahudi setiap (binatang) yang punya kuku, dan dari sapi dan kambing yang Kami haramkan pada mereka lemaknya”.
Ayat ini mengisahkan apa yang diharamkan Allah untuk orang-orang Yahudi dahulu. Kemudian dijelaskan pula dalam Al-Qur’an bahwa hal itu tidak berlaku lagi untuk umat Nabi Muhammad sebagaimana disebutkan dalam surat Al-an’am:145.

قل لا أجد فيما أو حي إليّ محرّما طاعم يطعمه إلاّ أن يكون ميتة أو دما مسفوحا أو لحم خنزير.
“katakanlah aku tidak meemukan dalam apa yang iwahyukan kepadaku sesuatu yang haram terhadap orang untuk dimakan kecuali bangkai, darah yang mengalir dan daging babi”.
b.    Hukum-hukum dijelaskan dalam Al-Qur’an maupun Hadis disyari’atkan untuk umat sebelumnya dan dinyatakan pula berlaku untuk umat Nabi Muhammad SAW. seperti kewajiban puasa dan contoh lain sabda
c.    Hukum-hukum yang disebutkan dalam Al-Qur’an atau Hadis Nabi, dijelaskan berlaku untuk umat sebelumnya, namun secara jelas tidak dinyatakan berlaku untuk kita, juga tidak ada alasan bahwa hukum tersebut telah dinasakh.
2.    Pendapat Para Ulama tentang Syar’u Man Qablana
Telah diterangkan bahwa syariat terdahulu yang jelas dalilnya, baik berupa penetapan atau penghapusan telah disepakati para ulama. Namun, yang diperselisihkan adalah apabila pada syariat terdahulu tidak terdapat dalil yang menunjukan bahwa hal itu diwajibkan pada kita sebagaimana diwajibkan pada mereka. Dengan kata lain, apakah dalil tersebut sudah dihapus atau dihilangkan untuk kita? Seperti firman Allah Swt:
مالمائدة : 32
“oleh karena itu, kami tetapkan (suratu hukum) bagi Bani Israil bahwa barang siapa membunuh seorang manusia bukan  karena orang itu (membunuh orang lain) atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya”. 

Jumhur ulama Hanafiyah, sebagian ulama Malikiyah, dan Syafi’iyah berpendapat bahwa hukum tersebut disyari’atkan juga pada kita dan kita berkewajiban mengikuti dan menerapkannya selama hukum tersebut telah diceritakan kepada kita serta tidak terdapat hukum yang menasahkannya. Alasannya, mereka menganggap bahwa hal itu termasuk diantara hukum-hukum Tuhan yang telah disyariatkan melalui para Rasul-Nya dan diceritakan kepada kita. Maka orang-orang mukallaf wajib mengikutinya. Lebih jauh, ulama Hanafiah mengambil dalil bahwa yang dinamakan pembunuhan itu adalah umum dan tidak memandang apakah yang dibunuh itu muslim atau kafir dzimmi, laki-laki ataupun perempuan, berdasarkan kemutlakan firman Allah SWT.

Sebagian ulama mengatakan bahwa syariat kita itu menasakh atau menghapus syari’at terdahulu, kecuali apabila dalam syariat terdapat sesuatu yang menetapkannya. Namun, pendapat yang benar adalah pendapat pertama karena syari’at kita hanya menasakh syari’at terdahulu yang bertentangan dengan syari’at kita saja.

Label dari