Tentang Ibnu Sina

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Filsafat Islam adalah salah satu mata kuliah yang mesti dipelajari oleh mahasiswa, agar mempunyai pengetahuan dan wawasan keilmuan mengenai hakikat filsafat. Dalam filsafat islam, banyak sekali tokoh yang menjadi ikon dan telah banyak memberikan kontribusi nyata bagi pertumbuhan dan perkembangan islam di dunia. Salah satu tokoh yang memberikan kontribusi besar dalan islam adalah Ibnu Sina, ia adalah seorang cendekiawan muslim, dokter, juga filsuf muslim terkemuka. Ia sangat dikenal masyarakat luas tentang ilmu kedokteran yang diciptakannya. 


Dalam Makalah ini, kami akan mencoba memaparkan kehidupan serta pemikiran-pemikirann Ibnu Sina secara ringkas. Ada beberapa pemikiran atau filsafat Ibnu Sina yang menjadi kontribusi bagi pemikiran islam sekarang ini. Maka ini perlu kita kaji lebih dalam.

B. Rumusan Masalah
Setelah memahami latar belakang yang ada, rumusan masalah yang kami sajikan adalah seputar :
1. Siapa dan Bagaimana boigrafi Ibnu Sina?
2. Apa saja karya-karya Ibnu Sina?
3. Kontribusi apa yang di berikan Ibnu Sina terhadap Islam?
4. Bagaimana pemikiran atau filsafatnya?
5. Bagaimana pendangan filsuf lain terhadap pemikiran/filsafat Ibnu Sina?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Filsafat Islam, dan untuk di presentasikan. Kemudian harapan kami dari penyusunan makalah ini adalah para pembaca :
1. Mengetahui sejarah hidup Ibnu Sina
2. Mengetahui kontribusi yang di berikan Ibnu Sina terhadap Islam
3. Memahami pemikiran Ibnu Sina tentang Ketuhanan, wahyu, kenabian, dll.
4. Mengetahui pendapat filsuf lain terhadap pemikiran Ibnu Sina.

BAB II
IBNU SINA


A. BIOGRAFI IBNU SINA

Nama asli Ibnu Sina adalah Abu Ali al-Husain bin Abdullah ibn Sina. Di Eropa beliau lebih dikenal dengan nama Avicenna. Beliau lahir di sebuah desa Afsyana, di daerah Bukhara pada safar tahun 340 H/ 980 M, dari seorang ibu yang berkebangsaan Turki dan bapaknya berasal dari Arab-Persia. Kelahiran beliau di tengah masa yang sedang kacau,dimana kekuasaan Abbasyiah mulai mundur dan negri-negri yang mula-mula berada di bawah kekuasaannya kini mulai melepaskan diri dan untuk berdiri sendiri. Dan kota Baghdad sebagai kota pemerintahannya dikuasai oleh golongan Banu Buwaih pada tahun 334 H sampai dengan tahun 447 H.

Ibnu Sina dibesarkan didaerah kelahirannya. Beliau belajar Al-quran dengan menghafalnya, belajar ilmu agama dan belajar ilmu-ilmu umum lainnya. Ia mempunyai ingatan dan kecerdasan yang luar biasa, sehingga pada usia 10 tahun ia telah menghafal 30 juz Al-quran. Sewaktu berumur 17 tahun ia telah dikenal sebagai dokter dan atas panggilan Istana pernah mengobati pangeran Nuh Ibn Mansur sehingga pulih kembali kesehatannya. Sejak itu, Ibnu Sina mendapat sambutan baik sekali, dan dapat pula mengunjungi perpustakaan yang penuh dengan buku - buku yang sukar didapat, kemudian dibacanya dengan segala keasyikan. Karena sesuatu hal, perpustakaan tersebut terbakar, maka tuduhan orang ditimpakan kepadanya, bahwa ia sengaja membakarnya, agar orang lain tidak bisa lagi mengambil manfaat dari perpustakaan itu .Kemampuan Ibnu Sina dalam bidang filsafat dan kedokteran, kedua duanya sama beratnya. Dalam bidang kedokteran dia mempersembahkan Al-Qanun fit-Thibb-nya, dimana ilmu kedokteran modern mendapat pelajaran, sebab kitab ini selain lengkap, disusunnya secara sistematis.

Pada waktu usianya mencapai 22 tahun, ayahnya meninggal dunia. Kemudian ia meninggalkan kota Bukhara untuk menuju ke Jurjan, dan dari sini ia pergi ke Chawarazm. Di jurjan iamengajar dan mengarang, tetapi karena kekacauan politik, ia tidak lama inggal dikota tersebut. Sejak saat itu ia hidupnya berpindah-pindah dari tempat yang satu ke tampat yang lain, maka sampailah ia di kota Hamadan.
Pada masa mudanya ia tertarik dengan aliran Syiah Islama’iliyyah dan aliran kebatinan. Ia banyak mendengar percakapan antara tokoh-tokoh kedua aliran tersebut dengan ayahnya atau kakaknya. Mereka berdiskusi mengenai akal pikiran dan kejiwaan menerut cara mereka. 

Ibnu Sina meninggal dunia pada tahun 1037 M/ 428 H dalam usia 58 tahun. Jasadnya dikebuikan di Hamadzan, Iran. Ia wafat ketika ia sedang mengajar di sekolah, karena sakit maag kronis yang dideritanya. Beliau pergi setelah menyumbangkan banyak hal kepada khazanah keilmuan umat manusia dan namanya akan selalu dikenang sepanjang sejarah.

B. KARYA-KARYA IBNU SINA
Diantara karangan - karangan Ibnu Sina adalah :
1. As- Syifa’, buku tentang penemuan, atau buku tentang penyembuhan, buku ini dikenal didalam bahasa Latin dengan nama Sanatio, atau Sufficienta. Seluruh buku ini terdiri atas 18 jilid, naskah selengkapnya sekarang ini tersimpan di Oxford University London. Mulai ditulis pada usia 22 tahun (1022 M) dan berakhir pada tahun wafatnya (1037 M). Isinya terbagi atas 4 bagian, yaitu : logika, fisika, matematika dan metafisika.
2. Nafat, buku ini adalah ringkasan dari buku As-Syifa’.
3. Qanun, buku ini adalah buku ilmu kedokteran, dijadikan buku pokok pada Universitas Montpellier (Perancis) dan Universitas Lourain (Belgia).
4. Sadidiyya, buku tentang ilmu kedokteran.
5. Al-Musiqa, buku tentang musik.
6. Al-Mantiq, buku yang diperuntukkan Abul Hasan Sahli.
7. Qamus el Arabi, terdiri atas lima jilid.
8. Danesh Nameh, buku tentang filsafat.
9. Uyun-ul Hikmah, buku tentang filsafat yang terdiri dari 10 jilid.
10. Mujiz kabir wa Shaghir, sebuah buku yang menerangkan tentang dasar - dasar ilmu logika secara lengkap.
11. Hikmah el Masyriqiyyin, buku ini tentang falsafah Timur (Britanica Encyclopedia vol II, hal. 915 menyebutkan kemungkinan besar buku ini telah hilang).
12. Al-Inshaf, buku tentang Keadilan Sejati.
13. Al-Hudud, berisikan istilah - istilah dan pengertian - pengertian yang dipakai didalam ilmu filsafat.
14. Al-Isyarat wat Tanbiehat, buku ini lebih banyak membicarakan dalil - dalil dan peringatan - peringatan yang mengenai prinsip Ketuhanan dan Keagamaan.
15. An-Najah, buku tentang kebahagiaan Jiwa.

C. FILSAFAT-FILSAFAT IBNU SINA
1. Wujud dan Ketuhanan
Bagi Ibnu Sina sifat wujudlah yang terpenting dan yang mempunyai kedudukan diatas segala sifat lain. Ia membagi wujud menjadi tiga, yaitu :
a. Wajibul Wujud
b. Mumkinul Wujud, dan
c. Mumtani’ul Wujud

Dalam pembagian wujud kepada wajib dan mumkin, tampaknya Ibnu Sina terpengaruh oleh pembagian wujud para mutakallimun kepada : baharu (al-hadits) dan Qadim (al-Qadim). Karena dalil mereka tentang wujud Allah didasarkan pada pembedaan - pembedaan “hadits” dan “qadim” sehingga mengharuskan orang berkata, setiap orang yang ada selain Allah adalah hadits, yakni didahului oleh zaman dimana Allah tidak berbuat apa - apa. Pendirian ini mengakibatkan lumpuhnya kemurahan Allah pada zaman yang mendahului alam mahluk ini, sehingga Allah tidak pemurah pada satu waktu dan Maha Pemurah pada waktu lain. Dengan kata lain perbuatan-Nya tidak Qadim dan tidak mesti wajib. Untuk menghindari keadaan Tuhan yang demikian itu, Ibnu Sina menyatakan sejak mula “bahwa sebab kebutuhan kepada al-wajib (Tuhan) adalah mungkin, bukan hadits”. Pernyataan ini akan membawa kepada aktifnya iradah Allah sejak Qadim, sebelum Zaman.

Perbuatan Ilahi dalam pemikiran Ibnu Sina dapat disimpulkan dalam 4 catatan sebagai berikut :

Pertama, perbuatan yang tidak kontinu (ghairi mutajaddid) yaitu perbuatan yang telah selesai sebelum zaman dan tidak ada lagi yang hadits. Dalam kitab An-Najah (hal. 372) Ibnu Sina berkata : “yang wajib wujud (Tuhan) itu adalah wajib (mesti) dari segala segi, sehingga tidak terlambat wujud lain (wujud muntazhar) - dari wuwud-Nya, malah semua yang mungkin menjadi wajib dengan-Nya. Tidak ada bagi-Nya kehendak yang baru, tidak ada tabi’at yang baru, tidak ada ilmu yang baru dan tidak ada suatu sifat dzat-Nya yang baru”. Demikianlah perbuatan Allah telah selesai dan sempurna sejak qadim, tidak ada sesuatu yang baru dalam pemikiran Ibnu Sina, seolah - olah alam ini tidak perlu lagi kepada Allah sesudah diciptakan. 

Kedua, perbuatan Ilahi itu tidak ada tujuan apapun. Seakan - akan telah hilang dari perbuatan sifat akal yang dipandang oleh Ibnu Sina sebagai hakekat Tuhan, dan hanya sebagai perbuatan mekanis karena tidak ada tujuan sama sekali. 

Ketiga, manakala perbuatan Allah telah selesai dan tidak mengandung sesuatu maksud, keluar dari-Nya berdasarkan “hukum kemestian”, seperti pekerjaan mekanis, bukan dari sesuatu pilihan dan kehendak bebas. Yang dimaksudkan dalam catatan ketiga ini yaitu Ibnu Sina menisbatkan sifat yang paling rendah kepada Allah karena sejak semula ia menggambarkan “kemestian” pada Allah dari segala sudut. Akibatnya upaya menetapkan iradah Allah sesudah itu menjadi sia - sia, karena iradah itu tidak lagi bebas sedikitpun dan perbuatan yang keluar dari kehendak itu adalah kemestian dalam arti yang sebenarnya. Jadi tidak ada kebebasan dan kehendak selagi kemestian telah melilit Tuhan sampai pada perbuatan-Nya, lebih - lebih lagi pada dzat-Nya.

Keempat, perbuatan itu hanyalah “memberi wujud” dalam bentuk tertentu. Untuk memberi wujud ini Ibnu Sina menyebutnya dengan beberapa nama, seperti : shudur (keluar), faidh (melimpah), luzum (mesti), wujub anhu (wajib darinya). Nama - nama ini dipakai oleh Ibnu Sina untuk membebaskan diri dari pikiran “Penciptaan Agamawi”, karena ia berada di persimpangan jalan anatara mempergunakan konsep Tuhan sebagai “sebab pembuat” (Illah fa’ilah) seperti ajaran agama dengan konsep Tuhan sebagai sebab tujuan (Illah ghaiyyah) yang berperan sebagai pemberi kepada materi sehingga bergerak ke arahnya secara gradual untuk memperoleh kesempurnaan.

Dalam empat catatan tersebut para penulis sejarah dan pengkritik Ibnu Sina selalu memahami bahwa Ibnu Sina menggunakan konsep pertama yaitu konsep Tuhan sebagai “sebab pembuat”. Tidak terpikir oleh mereka kemunginan Ibnu Sina menggunakan konsep kedua, yang menyatakan bahwa Tuhan tidak mencipta, tapi hanya sebagai “tujuan” semata. Semua mahluk merindui Tuhan dan bergerak ke arahNya seperti yang terdapat dalam konsepsi Aristoteles tentang keindahan seni dalan hubungan alam dengan Tuhan.

2. Wahyu dan Kenabian
Pentingnya gejala kenabian dan wahyu ilahi merupakan sesuatu yang oleh Ibnu Sina telah diusahakan untuk dibangun dalam empat tingkatan : intelektual, imajinatif, keajaiban, dan sosio politis. Totalitas keempat tingkatan ini memberi kita petunjuk yang jelas tentang motivasi, watak dan arah pemikiran keagamaan.
Akal manusia terdiri empat macam yaitu akal materil, akal intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad. Dari keempat akal tersebut tingkatan akal yang terendah adalah akal materiil. Ada kalanya Tuhan menganugerahkan kepada manusia akal materiil yang besar lagi kuat, yang Ibnu Sina diberi nama al hads yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal materiil semua ini begitu besarnya, sehingga tanpa melalui latihan dengan mudah dapat berhubungan dengan akal aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini mempunyai daya suci. Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia dan terdapat hanya pada nabi - nabi.
Jadi wahyu dalam pengertian teknis inilah yang mendorong manusia untuk beramal dan menjadi orang baik,

3. Emanasi
Kajian emanasi Ibnu Sina mengikuti kosmologi platonisme yang mendasar pada distingsi berusaha menunjukkan bagaimana yang banyak itu dilahirkan dari yang Satu (ex uno non fit nisi unum) atau inteleksi tuhanlah (akal pertama) penciptaan itu terjadi, yang pada saat bersamaan transenden dalam kaitannya dengan seluruh keragaman (multiplicity). 

Ibnu Sina juga menggunakan gagasan bahwa melalui inteleksilah penciptaan itu terjadi. Proses penciptaan dan inteleksi adalah sama, karena melalui kontemplasi tatanan realitas yang lebih tinggi itulah yang lebih bisa muncul. Kemudian dari Wujud Niscaya Tunggal- yang merupakansumber segala sesuatu – wujud tunggal tercipta sesuai dengan prinsip sebelumnya- yaitu akal pertama yang disetarakan dengan malaikat muncullah akal yang kedua yaitu jiwa dan tumbuh akal langit pertama melalui kontemplasi akal pertama melahirkan akal ketiga, yaitu jiwa dan tubuh langit pertama. Lalu proses ini berlangsung hingga langit kesembilan dan melahirkan Akal kesepuluh, yaitu bulan Akal kesepuluh juga berfungsi sebagai pemberi cahaya kepada fikiran manusia. Dari sinilah substansi semesta tidak lagi memiliki kemurnian untuk melahirkan langit yang lain. Karena itu, dari kemungkinan kosmik yang tersisa dunia turun temurun dan berubah muncul. Ia juga berpendapat bahwa dari akal kesupuluhlah terpancar illuminasi dan penciptaan Tuhan. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa alam ini hudust (baru) sedangka Tuhan itu Qodim (kekal).

4. Jiwa
Ibnu Sina memberikan perhatiannya yang khusus terhadap pembahasan kejiwaan, sebagaimana yang dapat kita lihat dari buku - buku yang khusus untuk soal- soal kejiwaan ataupun buku - buku yang berisi campuran berbagai persoalan filsafat. Memang tidak sukar untuk mencari unsur - unsur pikiran yang membentuk teorinya tentang kejiwaan, seperti pikiran - pikiran Aristoteles, Galius atau Plotinus, terutama pikiran- pikiran Aristoteles yang banyak dijadikan sumber pikiran-pikirannya. Namun hal ini tidak berarti bahwa Ibnu Sina tidak mempunyai kepribadian sendiri atau pikiran - pikiran yang sebelumnya, baik dalam segi pembahasan fisika maupun segi pembahasan metafisika. Segi - segi kejiwaan pada Ibnu Sina pada garis besarnya dapat dibagi menjadi dua segi yaitu :
a. Segi Fisika
1) Jiwa tumbuh – tumbuhan : makan, tumbuh, berkembang biak.
2) Jiwa binatang : gerak dan mengkap (dari luar dan dalam)
3) Jiwa manusia : Praktis yang hubungannya dengan badanTeoritis yang hubungannya adalah dengan hal - hal abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan :
  • Akal materiil yang semata - mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih walaupun sedikitpun.
  • Intelectual in habits, yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal - hal abstrak.
  •  Akal actuil, yang telah dapat berfikir tentang hal - hal abstrak.
  • Akal mustafad yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal - hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya.
b. Metafisika
Pada bagian ini dibicarakan tentang hal-hal berikut:
1. Wujud jiwa, dalam membuktikan adanya jiwa, Ibnu Sina mengemukakan empat dalil diantaranya sebagai berikut:
• Dalil alam kejiwaan : Dalil ini didasarkan pada fenomena gerak dan pengetahuan. Gerak terbagi menjadi dua bagian. Pertama, gerakan paksaan; yaitu gerakan yang timbul pada suatu benda yang disebabkan adanya dorongan dari luar. Kedua, gerakan tidak paksaan; yaitu gerakan yang terjadi baik sesuai dengan hokum alam maupun yang berlawanan.
• Konsep “aku” dan kesatuan fenomena psikologis : Dalil ini didasarkan hakikatnya pada manusia. Jika membicarakan pribadinya atau mengajak seseorang berbicara, yang dimaksudkan hakikatnya adalah jiwanya bukan jisimnya. Begitupun dalam masalah psikologis, terdapat keserasian dan koordinasi mengesankan yang menunjukan adanya suatu kekuatan yang menguasai dan mengaturnya.
• Dalil kontinuitas (al-istimrar) : Dalil ini didasarkan pada perbandingan jiwa dan jasad. Jasad manusia senantiasa mnalami perubahan dan pergantian. Sementara itu, jiwa bersifat kontinuitas, tidak mengalami perubahan dan pergantian. Jiwa yang kita pakai sekarang adalah jiwa sejak lahir, dan akan berlngsung akan selama umur tampa mengalami perubahan. Oleh karena itu, jiwa berbeda dengan jasad.
• Dalil manusia terbang atau manusia melayang terbangdi udara : Dalil ini menunjukan daya kreasi ibnu sina yang sangat mengagumkan. Walaupun dasarnya bersifat asumsiatau khayalan, namun tidak mengurangi kemampuannya dalam memberikan keyakinan.

2. Hakikat jiwa
Ibnu Sina mengatakan bahwa jiwa itu adalah jauhar rohani. Jiwa merupakan substansi rohani, tidak tersusun dari materi-materi layaknya jasad.
3. Hubungan jiwa dengan jasad
Menurutnya jiwa dan jasad bukan hanya erat hubungannya, akan tetapi keduanya saling mempengaruhi dan saling membantu. Jasad adal tempat bagi jiwa.
4. Kekekalan jiwa
Ibnu Sina berpendapat bahwa jiwa manusia berbeda dengan jiwa tumbuhan dan hewan yang hancur, jiwa manusia itu kekal dalam bentuk individual yang akan menerima balasan setimpal diakhirat kelak. Ia mengemukakan tiga hal berikut :
  • Dalil al-infishal : perpaduan antara jiwa dan jasad bersifat aksident
  • Dalil al-basathat : jiwa adalah jauhar rohani yang selalu hidup dan tidak mengenal mati.
  • Dalil al-musyabahat : dalil ini bersifat metafisik. Jiwa manusia bersumber dari akal faal.

D. PENGARUH FILSAFAT IBNU SINA
1. Ibnu Sina membantah pemikiran kaum sufi ortodok, dan melahirkan sufi modern.
2. Hasil karyanya dijadikan kurikulum oleh Universitas di Eropa.
3. Muhammad Yunus mengatakan, Ibnu Sina mengajukan beberapa sifat yang harus dimikliki guru, yaitu : tenang, tidak bermuka masam, tidak berolok-olok dihadapan murid dan bersikap sopan santun.

E. PANDANGAN FILOSOF LAIN TERHADAP FILSAFAT IBNU SINA
1. Imam Al Ghazali, dalam karyanya Tahafut Al-Falasifah, menyanggah penafian iradah Tuhan karena alam ini melimpah maka ia terjadi dengan sendirinya tanpa kehendak-Nya, dan hal ini bertentangan dengan ajaran agama yang menetapkan iradah sebagai salah satu sifat Tuhan. Karenanya, Al Ghazali mengkafirkan orang yang mengatakan alam ini qadim karena selain syirik, juga menafikan Allah sebagai Pencipta alam ini.
2. Ibnu Rusy, ia menyanggah pemikiran Ibnu Sina tentang filsafat wujudnya. Ia mengatakan bahwa dalil wujud yang diyakini Ibnu Sina tidak mencakup seluruh wujud.


BAB III
KESIMPULAN

Nama asli Ibnu Sina adalah Abu Ali al-Husain bin Abdullah ibn Sina. Di Eropa beliau lebih dikenal dengan nama Avicenna. Kemampuan Ibnu Sina dalam bidang filsafat dan kedokteran, kedua duanya sama beratnya. Dalam bidang kedokteran dia mempersembahkan Al-Qanun fit-Thibb-nya, dimana ilmu kedokteran modern mendapat pelajaran, sebab kitab ini selain lengkap, disusunnya secara sistematis. Dan inti dari pemikirasnnya adalah :

• Menurut Ibnu Sina bahwa alam ini diciptakan dengan jalan emanasi (memancar dari Tuhan).
• Tuhan adalah wujud pertama yang immateri dan dariNyalah memancar segala yang ada.
• Tuhan adalah wajibul wujud (jika tidak ada menimbulkan mustahil), beda dengan mumkinul wujud (jika tidak ada atau ada menimbulkan tidak mujstahil).
• Pemikiran Ibnu Sina tentang kenabian menjelaskan bahwa nabilah manusia yang paling unggul, lebih unggul dari filosof karena nabi memiliki akal aktual yang sempurna tanpa latihan atau studi keras, sedangkan filosof mendapatkannya dengan usaha dan susah payah

DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Harun. 1992. Falsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang.
Hermawan, A Heris & Yaya Sunarya, 2011. Filsafat Islam, Bandung: Insan Mandiri
Imam Ghazali, 2010. Tahafutul falasifah. Bandung : Marja
Mustofa, H.A. 2009.Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia.
Syarif, MM., MA. 1994, Para Filosof Muslim, Bandung: Mizan.
http://nurulwatoni.tripod.com/FILSAFAT_IBNU_SINA.htm
http://filsafatislam.net/?p=127

Label dari